VdBackground 02  .jpg

Kenapa Orang Pintar itu "Bodoh"?

Print
Created on Thursday, 14 January 2016 Last Updated on Friday, 10 May 2019 Written by Phi-D


I know so much that I don’t know where to begin.
(Saya tahu banyak hal, tetapi saya tidak tahu harus memulai dari mana)

Pernahkah Anda menghadapi dilema seperti itu? Anda tahu banyak hal karena Anda suka belajar dan punya banyak pengalaman; akan tetapi saat menghadapi suatu masalah baru, Anda malah bingung harus mulai menyelesaikan masalah tersebut dari mana.


Pada tanggal 28 November 2015 lalu, saya mengikuti pelatihan tentang cara membuat sebuah modul pembelajaran yang baik. Pelatihan ini diberikan oleh ibu Angie, Direktur Pendidikan di sebuah sekolah swasta di kawasan Bintaro dan salah seorang penulis buku pelajaran Tematik untuk kelas 4 yang diawasi oleh Kemendikbud. Saat makan siang, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan beliau dan saya mengajukan pertanyaan, “Wah, untuk bisa seperti ibu Angie, saya harus menjadi sepintar apa ya?” Lalu beliau segera menjawab saya, “Jangan kepintaran, nanti malah jadi keblinger.” Mendengar jawaban singkat dan "sederhana" dari ibu Angie, saya pun tertawa lepas.

Dalam perjalanan pulang, saya mulai memikirkan respon ibu Angie terhadap pertanyaan saya. Pendidikan memang bertujuan melatih seseorang menjadi berpendidikan, ahli di bidangnya, dan pintar. Tetapi benarkah menjadi pintar malahan sangat berbahaya?

Setelah berpikir secara mendalam, pengalaman dan pembelajaran saya selama ini memang memperlihatkan bahwa kepintaran itu dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi itu dapat membantu seseorang menjawab dengan cepat setiap pertanyaan yang diajukan, tidak mudah diprovokasi, tidak mudah ditipu, bahkan dapat memecahkan banyak masalah yang dihadapi. Akan tetapi di sisi lain, jika kepintaran membuat seseorang menjadi TERLALU percaya diri sehingga tidak menganalisa dan mengevaluasi suatu masalah secara mendalam, seseorang dapat terjebak dan terjerumus dalam masalah lainnya. Untuk mempermudah memahami analogi ini, cobalah menjawab pertanyaan hitung-hitungan sederhana di bawah ini, yang memang membutuhkan kepintaran matematika.

Sebuah pemukul kasti dan sebuah bola kasti harganya Rp 20.000,-. Jika harga pemukul kasti lebih mahal Rp 15.000,- dari bola kasti, berapa harga sebuah bola kasti?
Apakah Anda menjawab Rp 5.000,-? Ya, kebanyakan orang akan dengan cepat dan yakin menjawab bahwa harga sebuah bola kasti adalah Rp 5.000,-. Akan tetapi, sangat disayangkan, itu bukan jawaban yang benar. Harga bola kasti itu sebenarnya adalah Rp 2.500,- dan harga pemukul kasti itu adalah Rp 15.000,- + Rp 2.500,- = Rp 17.500,-

Lebih dari 5 dekade yang lalu, Daniel Kahneman, seorang peraih Nobel dan profesor psikologi di Universitas Princeton, telah mengajukan pertanyaan di atas pada banyak orang dan menganalisa jawabannya. Percobaan sederhana yang dilakukannya ini telah sangat mengubah cara berpikir dunia tentang kemampuan berpikir manusia. Selama berabad-abad, para ahli filosofi, ahli ekonomi, dan sarjana di bidang sosial telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk paling rasional karena selalu sanggup melihat ke depan, namun sangat disayangkan ternyata banyak bukti memperlihatkan bahwa manusia tidaklah serasional itu.

Saat seseorang menghadapi situasi yang tidak pasti dan harus membuat keputusan, mereka seringkali tidak berhati-hati mengevaluasi informasi atau mencari data statistik yang relevan (baca tentang sulitnya membuat keputusan dalam kondisi tidak pasti di artikel: Kejelasan untuk Menghadapi Kebingungan). Mereka malahan memutuskan dengan cara yang paling mudah menurut pikiran mental mereka, yaitu berpikir sederhana. Dan hal inilah yang menggiring mereka untuk membuat banyak keputusan yang bodoh (baca juga: Orang Terhebat pun Membuat Keputusan yang Salah). Ya, cara yang paling mudah sebenarnya bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan sebuah masalah matematika, tetapi ini adalah cara untuk mengabaikan semua perhitungan matematika. Misalnya saat ditanya pertanyaan tentang pemukul kasti dan bola kasti, kebanyakan orang menjadi lupa terhadap pelajaran berhitung dasar, sebaliknya mereka memiliki mental untuk berpikir dengan cara yang sederhana, tanpa butuh upaya, dan bahkan mengabaikan informasi pendukung yang penting dalam suatu masalah (baca juga: Mengapa Anda bisa Membuat Keputusan yang Salah).

Walau Kahneman sekarang dikenal sangat luas sebagai salah satu psikologi paling berpengaruh di abad ke-20 ini, tetapi apa yang ditelitinya ini sebelumnya tidak diperhatikan selama bertahun-tahun. Bahkan Kahneman menceritakan respon seorang filsuf Amerika terkenal yang merendahkan hasil risetnya dengan mengatakan, ”Saya tidak tertarik pada psikologi yang tolol.” Akan tetapi, pemikiran ”cemerlang” filsuf ini pada akhirnya membuat si filsuf jatuh dan kehilangan ketenarannya.

Sebuah penelitian di Jurnal Kepribadian dan Psikologi Sosial (Baca di Cognitive Sophistication does not attenuate the bias blind spot), yang dipimpin oleh Richard West (dari Universitas James Madison) dan Keith Stanovich (dari Universitas Toronto), membuktikan bahwa dalam banyak kasus, orang-orang yang pintar LEBIH mudah melakukan kesalahan dalam berpikir. Memang kecerdasan sangat penting untuk menjaga agar cara berpikir seseorang tidak menyimpang. Dan inilah yang memperlihatkan mengapa orang-orang dengan nilai ujian yang tinggi selalu berpikir bahwa mereka tidak mudah melakukan kesalahan berpikir. Akan tetapi, cara berpikir seperti itu malahan dapat menjadi ”kutukan” yang tidak terlihat.

Untuk membuktikan pernyataannya, West dan rekan-rekannya memberikan 482 mahasiswa sebuah kuesioner yang berisi variasi masalah-masalah klasik, seperti di bawah ini:
Di sebuah danau, terdapat bunga-bunga lili yang setiap harinya bertambah besar dua kali lipat. Jika dibutuhkan 48 hari bagi bunga-bunga lili itu untuk menutupi seluruh danau, berapa lama waktu yang dibutuhkan bunga-bunga lili tersebut untuk menutupi setengah bagian danau?

Respon pertama setiap orang adalah berpikir dengan mental yang sederhana, mereka langsung membagi dua informasi utama dan mendapatkan jawaban 24 hari. Akan tetapi itu bukanlah jawaban yang benar. Tahukah Anda berapa jawabnya? Ya, itu adalah 47 hari. Mental berpikir yang sederhana akan mengabaikan informasi penting bahwa bunga-bunga lili hanya membutuhkan satu hari untuk bertambah besar dua kali lipat. Ya, tanpa mengevaluasi dengan baik dan menganalisa informasi tambahan yang diberikan secara mendalam, seseorang yang pintar dapat dengan cepat menjawab pertanyaan, tetapi ia dapat terjebak dalam jawaban yang keliru. Karena itu tepat jika kutipan dari sebuah kitab suci mengatakan, ”biarlah ia yang berpikir bahwa ia sedang berdiri, berhati-hati agar ia tidak jatuh.”

Setelah percobaan pertama, West juga memberikan sebuah teka-teki untuk mengukur kerapuhan dari orang-orang pintar pada sesuatu yang disebut ”bias jangkar”, yang telah didemonstrasikan Kahneman dan Tversky pada tahun 1970-an (Baca apa itu bias jangkar di: Mengapa Anda bisa Salah Membuat Keputusan?). Orang-orang ini pertama kali ditanyakan bahwa tinggi pohon Redwood tertinggi di dunia adalah lebih dari 85 kaki. Setelah itu murid-murid diminta untuk memperkirakan tinggi dari pohon Redwood tertinggi di dunia. Murid-murid mengarahkan perhatian pada ”jangkar” kecil, yaitu 85 kaki sehingga mereka  menebak bahwa rata-rata pohon tertinggi di dunia adalah sekitar 118 kaki. Saat diberi ”jangkar” bahwa tinggi pohon Redwood tertinggi di dunia adalah lebih dari 1000 kaki, perkiraan mereka bertambah 7 kali lipat.

Akan tetapi West dan rekan-rekannya tidak mudah tertarik untuk mengkonfirmasi ulang tebakan-tebakan yang terlihat di pikiran manusia. Sebaliknya, mereka ingin memahami bagaimana tebakan-tebakan ini berhubungan dengan kecerdasan manusia. Sebagai hasilnya, mereka menyelingi tes-tes tebakan yang dilakukan itu dengan variasi perhitungan kognitif, termasuk tes ujian dan skala kognitif, yang menghitung ”kecenderungan seseorang untuk menggunakan dan menikmati keterampilan berpikirnya.”

Hasilnya cukup membingungkan. Di satu sisi, keterampilan untuk waspada tidak terlalu berguna seperti yang diperhatikan ilmuwan, ”orang yang selalu waspada terhadap tebakannya, tidak dapat menguasai dirinya dengan lebih baik.” Fakta ini tidak mengagetkan Kahneman, yang mengakui ”Berpikir, Cepat dan Lambat” seringkali gagal memperbaiki kinerja berpikir mentalnya sendiri selama berpuluh-puluh tahun dia melakukan riset mendalam. Kahneman mengatakan, ”Pikiran intuisinya membuatnya mudah terlalu percaya diri, prediksi yang tinggi, dan perencanaan yang keliru”, suatu kecenderungan untuk meremehkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, ”seperti saat saya mempelajari masalah-masalah ini sebelumnya.” Maka benarlah kutipan kata sebuah kitab suci bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat.

Mungkin bias paling berbahaya adalah saat kita secara alami menganggap bahwa semua orang lain lebih mudah terjebak dalam kesalahan berpikir, suatu kecenderungan yang dikenal sebagai ”titik buta bias”. ”Meta bias” ini berakar dalam kesanggupan kita untuk melihat kesalahan sistematis sewaktu orang lain membuat keputusan, manusia sangatlah hebat dalam melihat kekurangan orang lain, tetapi tidak dapat melihat kekurangan yang sama di dalam diri kita sendiri. Ini persis seperti yang dikatakan oleh pepatah, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.” Walaupun titik buta bias sendiri bukanlah suatu konsep yang baru, tulisan penelitian West terbaru menunjukkan bahwa titik buta itu diterapkan di setiap bias, dari bias jangkar sampai “efek bingkai”. Dan dalam setiap hal, kita selalu memaafkan pikiran-pikiran kita tetapi dengan kasar menghakimi pikiran orang lain.

Dan inilah bagian tersedihnya, kecerdasan seseorang membuatnya sering melakukan banyak hal bodoh. Para peneliti memberikan murid-murid 4 (empat) ukuran soal-soal kognitif yang umum. Sebagai hasilnya, keempat ukuran itu menunjukkan korelasi yang positif, dimana semakin kognitif soal-soal diberikan, maka semakin besar titik buta bias. Kecenderungan ini dapat diterapkan dalam banyak bias spesifik, dan ini menunjukkan bahwa semakin seseorang pintar (setidaknya ditunjukkan dari pengukuran nilai ujian) dan semakin ia memiliki banyak pertimbangan maka semakin rentan ia untuk melakukan kesalahan. Pendidikan bukanlah penyelamat, seperti yang dikatakan oleh Kahneman dan Shane Frederick beberapa tahun yang lalu, lebih dari 50% murid-murid di universitas Harvard, Princeton, dan M.I.T. memberikan jawaban yang salah pada pertanyaan matematika pemukul kasti dan bola kasti.

Apa yang ditunjukkan oleh penelitian ini? Salah satu hipotesis yang provokatif adalah titik buta bias bertambah besar karena adanya kegagalan antara cara kita mengevaluasi orang lain dengan cara kita mengevaluasi diri sendiri. Sewaktu mempertimbangkan pilihan yang tidak masuk akal dari orang yang tidak dikenal, pada umumnya manusia akan memaksa untuk mengandalkan pada informasi perilaku yang didapatnya; kita akan melihat kekurangan dan bias mereka dari luar, yang membuat kita hanya melihat sekilas pada kesalah berpikirnya yang sistematis. Bagaimana pun, saat menilai pilihan-pilihan kita yang salah, kita akan menggunakan pemeriksaan yang terperinci. Kita memeriksa motivasi kita dan mencari alasan-alasan yang relevan, kita menyesali dan meratapi kesalahan-kesalahan kita pada teman-teman dan memikirkan secara mendalam pada keyakinan yang malahan membuat kita semakin tersasar.

Masalah dari pendekatan instrospeksi ini adalah tenaga pendorong di balik bias (kecenderungan melakukan kesalahan), akar yang menyebabkan rasa tidak rasional kita, sebagian besar tidak disadari, yang berarti ini tidak terlihat saat melakukan analisa diri dan tertutup rapat dari kecerdasan. Faktanya, instrospeksi dapat menggabungkan kesalahan, membutakan kita pada proses penting yang bertanggung jawab untuk banyak kegagalan kita setiap hari sehingga membuat kita memutar cerita yang menarik, tetapi cerita ini kehilangan makna. Dan semakin kita berupaya mengenal diri sendiri, terkadang ini malahan membuat kita semakin sulit memahami diri kita sendiri.

Jadi pertanyaannya adalah, haruskah kita berjuang menjadi seorang yang pintar? Pilihannya ada di tangan kita sendiri (baca juga artikel: Ingin Makin Pintar? Rajinlah Berjogging).

Aza-aza FIGHTING.

Referensi artikel: Why Smart People are Stupid ( © www.newyorker.com)

Hits: 5415